Saturday, August 28, 2010

BUDIDAYA PERIKANAN

BUDIDAYA PERIKANAN


Benih Sidat Tatelu

Posted: 27 Aug 2010 02:18 PM PDT


Benih Sidat Tatelu

Ikan sidat telah mulai dibudidayakan di negara-negara maju seiring dengan peningkatan permintaannya dari waktu ke waktu. Sebut saja Jepang dan Eropa yang mulai merintis usaha tersebut. Bahkan di China, budidaya ikan bernama latin Angguila sp.ini telah berlangsung lebih dari dua dasawarsa terakhir. Kendati demikian, upaya itu belum bisa memenuhi semua permintaan sidat.

Peluang inilah yang kini tengah diupayakan Indonesia, menjadi pemasok sidat di dunia. Ini bukan tanpa dasar karena potensi pengembangan budidaya sidat di tanah air sangat besar. Bayangkan saja, selain didukung dengan potensi lahan juga terdapat dua spesies sidat dengan ketersediaan benih alam yang melimpah. Kedua spesies tersebut adalah Agguilla bicolor dan Angguilla marmorata. Jenis pertama mempunyai karakteristik pertumbuhan lebih cepat dan berwarna putih kehitaman. Sedangkan Angguilla marmorata pertumbuhannya lambat tetapi berukuran besar dan disukai konsumen di China.


Namun, pengembangan sidat di bumi pertiwi terkendala penyediaan benih (fingerling) yang sudah siap tebar dalam jumlah besar. Sebab usaha tersebut memerlukan penanganan mulai dari adaptasi terhadap air tawar, pakan buatan dan pertumbuhan untuk mencapai stadia sidat muda atau fingerling. Kendala lain adalah prasarana budidaya, yaitu penyediaan sarana kolam yang harus menggunakan konstruksi permanen untuk mencegah sidat lolos dari kolam. Disamping itu juga membutuhkan sarana air mengalir dan aerator untuk menjaga agar kandungan oksigen bisa memenuhi syarat hidup dan pertumbuhan sidat.

Faktanya, sampai saat ini produksi benih sidat secara artifisial belum bisa dilakukan karena proses reproduksi ikan ini tergolong rumit dan unik. Ikan sidat yang berukuran besar di air tawar tidak bisa mengalami proses pematangan gonad atau produksi telur bila tidak bermigrasi ke laut. Secara alamiah, pemijahan sidat berlangsung di perairan laut dalam yang masih misterius hingga saatP ini. Sementara benih-benih (stadium glass eel) bermigrasi ke perairan tawar melalui muara-muara sungai pada saat bulan gelap.

Beberapa wilayah menunjukkan adanya migrasi benih tersebut. Misalnya Sulawesi Utara. Yaitu di Amorang Kab. Minahasa Selatan, Poigar di Kab. Bolmong dan Inobonto di Kab. Bolmong. Keberadaan benih-benih itu bisa dimanfaatkan sebagai sumber benih alam.

Untuk benih alam yang berukuran sangat kecil umumnya baru mencapai stadium glass eel maupun elver. Tahapan ini membutuhkan perkembangan lebih lanjut untuk mencapai stadium sidat muda. Sedangkan benih yang besar di perairan alami tidak banyak yang bisa hidup (survive) akibat ancaman pemangsa, perubahan kondisi perairan yang kian tercemar dan banyaknya kegiatan konstruksi di perairan yang mengurangi peluang keberlangsungan hidup benih.

Karena itu upaya yang dibutuhkan untuk menyelamatkan benih-benih tersebut adalah melakukan perawatan (nursery) secara khusus sehingga keberlangsungan hidupnya menjadi besar. Caranya antara lain melalui upaya penangkapan benih pada bulan gelap di muara sungai. Hal itu memungkinkan penyediaan benih dalam jumlah besar meski masih memerlukan upaya penanganan hingga mencapai stadium dan ukuran yang siap dibesarkan di kolam budidaya secara efisien. Sebagai kunci keberhasilan awal pengembangan budidaya sidat adalah kemampuan menyediakan benih siap tebar. Untuk itu harus bisa menjamin tingkat keberlangsungan hidup yang tinggi dari hasil pengumpulan benih alam yang berukuran sangat kecil.

Tahapan-tahapannya sebagai berikut. Pertama adaptasi untuk mendapatkan glass eel yang bisa hidup di air tawar dan responsif terhadap pakan formula. Kemudian penyesuaian air media dengan penurunan kualitas secara bertahap dan adaptasi pakan hidup (cacing diubah menjadi pakan buatan). Ke dua, penumbuhan elver agar menjadi sidat muda elver yang adaptif. Untuk itu dibutuhkan 3 hal yaitu manajemen kualitas air yang memungkinkan kondisi air cepat bersih dan kaya oksigen, memacu asupan pakan melalui penyediaan pakan dengan aktabilitas tinggi dan gizi berimbang serta ke tiga dengan grading ukuran (sortasi) antara individu yang berukuran besar dan kecil. Benih yang siap tebar di kolam harus memenuhi syarat. Yakni ukuran mencapai lebih dari 5 gr/ekor) serta memiliki rasio lebar badan dan berat panjang tidak kurang dari 1,4 cm x 9 gr x 17 cm. (Rd)

sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id

Strategi Lindungi Kesehatan Ikan dan Lingkungan

Posted: 27 Aug 2010 01:36 PM PDT


Peningkatan produksi hingga 353% selama lima tahun ke depan adalah syarat wajib untuk bisa
menjadi produsen perikanan utama dunia. Namun hal itu tak akan bisa terwujud jika kegiatan
budidaya perikanan masih saja dihantui penyakit. Secara finansial, kejadian penyakit tersebut
menimbulkan kerugian yang tak sedikit.

Lihat saja catatan Direktorat Perikanan Jenderal Budidaya (DJPB). Pada 2007, terjadi kasus
penyakit di 13 provinsi dengan total kerugian Rp 27,5 miliar. Pada tahun yang sama pula terjadi
KHV (Koi Herpes Virus) di 3 lokasi sentra budidaya yakni di Sumatera Barat, Jawa Barat dan
Kalimantan Selatan dengan kerugian mencapai Rp 49 juta. Sementara itu pada 1994, serangan
virus white spot pada udang telah mengakibatkan kerugian mencapai
Rp 100 miliar. Bahkan pada 2006, serangan penyakit menyebabkan larangan perdagangan
ikan mas dan koi antar pulau sehingga berdampak pada munculnya pengangguran dan masih
banyak lagi lainnya.

Celakanya, akibat munculnya kasus penyakit itu produk perikanan Indonesia sempat
mengalami penolakan di pasar internasional. Sebut saja pada periode Januari – Februari 2007
dengan kerugian mencapai Rp 50 miliar. Sementara pada bulan berikutnya di tahun yang
sama, ekspor udang windu ke Jepang sebanyak 16,2 ton juga mengalami penolakan.
Sedangkan pada 1997, ekspor kekerangan terkena embargo dan menyebabkan kerugian
ekonomi sebesar Rp 188 milyar.

Dari sejarah kasus penyakit inilah maka kesehatan ikan dan lingkungan mutlak jadi perhatian.
Terkait hal ini Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan – Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya (DJBP) telah mempersiapkan strategi khusus dalam pengembangan sistem
kesehatan ikan dan lingkungan. Direktur Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Murdjani dalam
Forum Akselerasi Pembangunan Perikanan Budidaya 2010 – 2014 beberapa waktu lalu di
Batam menyatakan, untuk membentuk kawasan budidaya yang sehat sehingga bisa
mendukung upaya peningkatan produksi maka dilakukan dengan beberapa cara. Yaitu
memberikan perlindungan lingkungan, pengendalian obat ikan dan kimia, standarisasi
kesehatan ikan dan lingkungan, pengendalian residu serta pengendalian hama penyakit ikan.



Langkah Perlindungan


Sementara itu sebagai langkah perlindungan lingkungan dilakukan dengan cara pemantauan
dan evaluasi perlindungan lingkungan budidaya. Selanjutnya juga dengan peningkatan kualitas
lingkungan budidaya melalui restocking ikan trofik level rendah di perairan umum daratan,
perlindungan ikan spesifik lokal potensial budidaya dan rehabilitasi lingkungan budidaya.
Sedangkan untuk kegiatan pengendalian obat ikan, bahan kimia dan biologi dilakukan dengan
cara Perencanaan Tahunan Pengendalian Obat Ikan dan Kimia Nasional (Petapoiknas).
Kemudian juga dengan monitoring evaluasi dan pengendalian obat ikan, kimia dan bahan
biologi. Disampping itu juga dilakukan registrasi obat ikan, penerbitan izin usaha obat ikan serta
penerbitan rekomendasi impor.


Pengendalian hama penyakit ikan (HPI) dilakukan langkah-langkah seperti pemberian vaksinasi
dan imunostimulan, pengembangan obat ramah lingkungan, monitoring dan surveilance
(pengawasan) HPI, pemetaan penyebaran HPI, penerapan biosecurity di kawasan budidaya
serta penerapan Analisa Risiko Impor (ARI).


Selanjutnya ada kegiatan standardisasi kapasitas laboratorium. Antara lain dilakukan dengan
cara pengelolaan laboratorium yang memenuhi standar kelayakan teknis (GLP; ISO 17025),
merumuskan standar metode uji (SNI;POS), peningkatan kompetensi petugas laboratorium,
pengembangan Balai Penyidikan Penyakit Ikan dan Lingkungan (laboratorium level III) di Anyer

– Banten sebagai laboratorium rujukan serta pengembangan jejaring kerja laboratorium dalam
dan luar negeri.
Untuk monitoring residu dilakukan dengan cara penyusunan National Residu Control Plan
(NRCP). Lalu monitoring dan pengendalian residu dengan prioritas komoditas unggulan pada
wilayah provinsi yang ditentukan, harmonisasi peraturan nasional dan internasional serta
koordinasi tindak lanjut pengendalian residu. (Rd)

sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.