Wednesday, February 24, 2010

BUDIDAYA PERIKANAN

BUDIDAYA PERIKANAN


Aquarium Aeration Basics

Posted: 24 Feb 2010 11:04 AM PST


Aquarium Aeration Basics
by: Nathan Miller



As we all know rivers and lakes are the natural habits for fish and other marine life. Rivers and lakes have large surface area which makes maximum provision of oxygen for fish survival possible. On the other hand an aquarium is not like river or lake, it has a smaller surface area and there is limited movement of habitats.

This makes the provision of alternative means of oxygen for fish to breathe important. This artificial process of providing oxygen is called aeration. It's a simple process of re-oxygenating the water in aquarium tank.

The Aquarium Aerating System:

An aquarium aerating aystem made up of a series of materials that increases the supply of air (thereby increasing oxygen concentration) they are:

* the air pump
* t-pieces
* rubber tubing
* clamp or regulator
* diffusers or airstone

Air pumps come in different shapes and sizes but the most popular ones are tecax air pump from Taiwan together with 'dyna free, and the dragon' another popular one is super 555 from India though cheaper, but not as rugged. Occasionally available are the more expensive whisper and rens air pumps from Uk and rance respectively. Always place air pumps above the water level hooked to a non-vibrating material.

You can accomplish aeration in your aquarium tank by using the above listed aeration materials.

For small tanks all you need is to attach a simple aquarium air pump to airstone by means of a rubber air tube. The system will be blowing air into the water which causes motion in aquarium tank and thus provide the necessary oxygen your fish needs to breathe in the aquarium.

Sometimes people complain that the airpumps are too loud. A tricks to keep the air pump quiet is to insulate it's vibrations by placing the air pump on a large sponge.

I have even heard of some people who have buried the pump in cat litter with a air tube running to the surface from the air inlet... but you don't have to go to that extent. A large sponge should do the trick.

About The Author

Nathan Miller

For more great aquarium related articles and resources check out http://www.aquariumspot.com.

POSISI TERKINI PERDAGANGAN HASIL PERIKANAN INDONESIA

Posted: 24 Feb 2010 10:26 AM PST


POSISI TERKINI PERDAGANGAN HASIL PERIKANAN INDONESIA
(13-04-2007) -


LATAR BELAKANG
1. Ekspor Hasil Perikanan RI ke UE
Uni Eropa UE) merupakan salah satu mitra dagang penting bagi Indonesia (RI); khususnya di bidang perikanan.
Perdagangan bilateral dalam sektor perikanan antara RI dan UE mengalami peningkatan pesat dalam lima tahun terakhir
ini, dengan trend peningkatan nilai 7.55% (dari nilai ekspor Euro 179,841 juta (tahun 2000) menjadi Euro 281,015 juta
(tahun 2005)). Bagi Indonesia, UE merupakan pasar utama ke tiga untuk sektor produk-produk perikanan setelah pasarpasar
AS dan Jepang.
Tabel 1. Volume Ekspor Hasil Perikanan Indonesia (ton); 2000-2005
NoTujuan TahunTrend (%)20002001 2002 200320042005 1Japan 109,491 120,703136,033 125,601 116,211 109,871-
0,322 USA 54,55154,16057,19469,997 109,565109,12911,723EU51,98554,59053,96368,773 99,207
87,9248,604Others74,66977,42370,386 111,328 577,374 550,857 21,25Total 290,696
306,876317,576375,699902,357857,781 Tabel 2. Nilai Ekspor Hasil Perikanan Indonesia (000 USD)
NoTujuan TahunTrend (%)20002001 2002 200320042005 1Japan 808,059772,616737,077666,534 602,052 588,841-
6,592 USA 323,648318,962328,109365,665 634,355591,6279,343EU179,941 185,406 162,726209,783268,410281,015
7,554Others160,938 153,883 118,904 162,913 276,016451,44214,57Total 1,472,586 1,430,8671,346,8161,404,895
1,780,8331,912,925 Namun sejak 21 Maret 2006 produk perikanan dari Indonesia terkena peraturan di UE yaitu
”systemic border control” melalui peraturan CD 06/236/EC. Melalui peraturan tersebut, terhadap seluruh
hasil perikanan impor asal Indonesia, dilakukan sampling dan analisis logam berat dan juga analisis histamin khususnya
untuk spesies-spesies Scombridae, Clupidae, Engraulidea, dan Croyphaenidae. Produk-produk hasil perikanan dari jenis
Scombridae (misal: tuna, tongkol, cakalang) asal Indonesia diduga mengandung kadar histamin dan logam berat yang
terlalu tinggi.
Kasus lainnya yang masih muncul hingga saat ini adalah masih terdapatnya residu obat-obatan dan antibiotik pada
produk-produk ikan dan udang hasil budidaya. Di sisi lain, permintaan tuna dan hasil perikanan lainnya mengalami
peningkatan yang pesat di pasar UE, dan hal ini berkontribusi positif terhadap nilai ekspor nasional yang berdampak
pada pertumbuhan industri-industri pengolahan tuna segar/beku. Tetapi adanya berbagai kasus histamin dan logam
berat serta residu antibiotik pada hasil perikanan Indonesia di pasar UE telah menurunkan citra hasil perikanan
Indonesia di pasar global.
2. Peraturan Pangan di UE : Tujuan dan Ruang Lingkup
- Jaminan perlindungan yang tinggi terhadap kesehatan manusia dan keinginankonsumen terhadap pangan
- Tuntutan yang semakin tinggi terhadap faktor keamanan pangan dan pakan berbasis :
- Peraturan umum (universal) dan tanggung jawab berasas nilai kemanusiaan
- Berbasis pada fakta-fakta ilmiah
- Pembentukan struktur organisasi yang efisien dalam pembuatan keputusan tentang pangan dan pakan yang aman
- Penerapan sistem ketertelusuran (traceability) pada seluruh proses produksi, pengolahan, maupun distribusi (termasuk
monitoring residu dan polutan)
- Ketentuan umum dari Peraturan Pangan UE
- Pangan tidak dapat dipasarkan bila dalam keadaan tidak aman
- Pangan dikategorikan dalam keadaan tidak aman bila :
- Membahayakan kesehatan manusia
- Tidak layak untuk konsumsi manusia
- Bila satu (1) bagian batch dinyatakan tidak aman, maka keseluruhan batch tersebut juga akan dinyatakan tidak aman
- Dokumen kunci pada Peraturan Pangan UE
- Peraturan 178/2002-aturan umum dan ketentuan peraturan pangan tentang keamanan pangan
- Peraturan 882/2004-sistem pengendalian mutu
- Peraturan 852/2004-kebersihan pangan
- Peraturan 853/2004-aturan kebersihan yang spesifik untuk produk pangan manusia yang berasal dari produk hewani
- Peraturan 854/2004-aturan khusus untuk lembaga pengendalian mutu 3. Program Inspeksi yang Dilakukan oleh the
Food and Veterinary Office (FVO); DG Health and Consumer Protection (DG SANCO); European Commission
Kegiatan ini merupakan salah satu program rutin dari kebijakan Komisi Eropa yang diberlakukan pada seluruh Negara
anggota UE dan Negara-negara ke-tiga yang melakukan hubungan perdagangan dengan UE. Terdapat jumlah total 272
kegiatan inspeksi yang dilakukan pada program tahun 2007, dan inspeksi terhadap factor keamanan pangan menjadi
focus utama dalam program inspeksi sebagaimana terlihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Deskripsi program inspeksi berdasarkan focus utama
AREAJUMLAH INSPEKSI PERSENTASEKeamanan Pangan19772Kesehatan Hewan259Kesejahteraan
Hewan187Kesehatan Tumbuhan176Review Umum 16 6TOTAL 272100Dalam program inspeksi terhadap Negaranegara
ke-tiga termasuk Indonesia, FVO ingin mendapatkan kepastian bahwa Competent Authority (CA) menerapkan
system jaminan mutu dan keamanan pangan (berasal dari produk hewani dan tumbuhan untuk tujuan ekspor ke UE)
yang harmonis dengan standar mutu yang berlaku di UE. Kegiatan inspeksi ini terutama ditujukan pada industri-industri
perikanan di Indonesia yang aktif melakukan kegiatan ekspor ke UE. Hasil inspeksi FVO UE untuk produk perikanan
Indonesia pada tahun 2004 hingga 2006 dapat dilihat pada Lampiran 1, dimana terlihat bahwa Rapid Alert Systems for
Feed and Food (RASFF) memegang peranan penting dalam program inspeksi.

4. Isu Terkini pada Produk Perikanan asal Indonesia
Akhir-akhir ini, FVO meminta Indonesia untuk membuat laporan tentang monitoring residu perikanan budidaya (AMR,
Aquaculture Monitoring Residue). Namun laporan monitoring residu perikanan budidaya tahun 2006 yang diberikan oleh
Competent Authority (CA) DKP RI tidak dapat memenuhi persyaratan yang diberikan oleh UE yang menetapkan adanya
12 parameter pengujian yang harus dilakukan. Hal ini berakibat pada terjadinya ancaman embargo bagi seluruh hasil
perikanan dari budidaya, bila dalam jangka waktu tiga (3) bulan UE tidak menerima revisi perencanaan sistem
monitoring residu pada perikanan budidaya yang memuaskan. Maka kunjungan terakhir dari FVO pada 22 Januari 2007
sampai 2 Februari 2007 lalu merupakan situasi kritis bagi dunia perikanan Indonesia. Namun sampai sekarang, hasil
kegiatan inspeksi yang dilakukan oleh FVO tersebut belum dilaporkan ke Competent Authority (CA) DKP RI sampai saat
ini.
Seperti hal di atas, para ahli dalam Asian Trust Fund juga menemukan fakta-fakta bahwa belum ada sistematika kontrol
dalam sistem mutu dan jaminan keamanan pada produk-produk perikanan sejak produksi ikan sampai unit pengolahan,
misalnya: aplikasi rantai dingin yang buruk, ketidakmampuan untuk melakukan analisis logam berat dan residu
antibiotik/obat, lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta lemahnya sistem jaminan mutu pada
laboratorium-laboratorium perikanan pemerintah resmi.
Ke depan, tak dapat diabaikan lagi, bahwa ketentuan import yang berlaku di pasar UE akan berlaku juga di pasar-pasar
AS dan Jepang, berkaitan dengan aspek-aspek keamanan pangan, jaminan mutu, dan ketertelusuran (traceability) agar
dapat mencapai kenyamanan konsumen domestiknya secara optimal.
TANGGAPAN PEMERINTAH INDONESIA
1. Tindakan Jangka Pendek
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran DKP RI sebagai Competent Authority (CA) harus melakukan tindakan
nyata, dimana salah satu tahap penting adalah melakukan reformasi sistem manajemen pada jaminan mutu dan
keamanan produk perikanan untuk mencapai harmonisasi dengan standar mutu di UE. Respons Indonesia dapat
digambarkan sebagai berikut :
NoKebijakan dan Isu Aksi Kebijakan1.Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan Indonesia tidak harmonis
dengan legislasi UEMemerlukan reformasi peraturan :
- Melalui EU-RI Trade Support Programme (TSP) TA 2006-2007, Menteri Kelautan dan Perikanan RI telah merevisi
sistem pengendalian mutu dan jaminan keamanan produk perikanan yang berlaku saat ini, dimana peraturan baru terdiri
dari empat (4) Peraturan Menteri dan empat (4) Keputusan Dirjen
- Untuk memacu implementasi peraturan-peraturan tersebut agar lebih baik, maka CA membentuk sistem manajemen
mutu yang baru, dengan menunjuk seorang Manajer Mutu2. Produksi Primer
- Perikanan Tangkap
- Penanganan dan penyimpanan dengan rantai dingin yang buruk
- Kondisi higienik yang buruk pada : kapal penangkap ikan, pelabuhan perikanan, tempat pendaratan ikan
- Perikanan Budidaya
- Rencana monitoring residu antibiotik yang buruk
- Belum ada sistem inspeksi yang berbasis kegiatan monitoring residu antibiotik
- CA merencanakan program-program di TA 2007 yang berbasis pada perbaikan sarana dan prasarana sistem rantai
dingin untuk menjamin mutu kesegaran ikan
- Perbaikan kondisi kebersihan pada kapal-kapal penangkap ikan dan pelabuhan perikanan harus dilakukan untuk
mencegah terjadinya kontaminasi
- CA berkolaborasi dengan Ditjen Perikanan Tangkap DKP RI untuk secara periodik melakukan inspeksi resmi terhadap
kebersihan di atas kapal maupun pelabuhan, dan hasilnya harus didokumentasikan
- Penerapan Good Aquaculture Practices diwajibkan untuk dilaksanakan, terutama untuk produk perikanan yang akan
diekspor ke UE, AS, dan Jepang
- CA berkolaborasi dengan Ditjen Budidaya DKP RI untuk melakukan monitoring obat-obatan dan antibiorik secara
berkala
- CA dan Ditjen Budidaya DKP RI harus melakukan koordinasi dengan Departemen teknis terkait lainnya untuk
mengatur dan mengendalikan produksi dan distribusi perdagangan obat-obatan/antibiotik yang digunakan pada sektor
perikanan budidaya
- CA bekerjasama dengan Ditjen Budidaya DKP RI untuk memberdayakan National Broodstock Center dalam
memproduksi benih-benih perikanan yang bebas penyakit
- CA dapat bekerjasama dengan Ditjen Budidaya DKP RI harus berkoordinasi erat dengan Dinas-dinas Perikanan di
daerah menetapkan jenis/ukuran/komoditas tambak di daerah-daerah dalam hal perijinan, pengawasan, dan
pelaksanaan monitoring residu antibiotik 3.Rantai Distribusi
- Terindikasi bahwa salah satu kelemahan mendasar dalam jaminan mutu dan keamanan produk udang di pertambakan
adalah pengendalian pada rantai penyediaan (supply). Pemaham an terhadap sistem mutu dan jaminan keamanan pada
rantai supply ini sangat lemah
- Walaupun dengan penge tahuan pengendalian standar internal dan sistem ketertelusuran (traceability) yang masih
lemah, supplier (petani/ pengusaha tambak) menjadi penyedia utama industri pengolahan udang

- Harus dilakukan pembentukan sistem pengendalian standar internal (misal: traceability/ketertelusuran) terhadap
petani/pengusaha udang/ikan tambak untuk menjaga standar keamanan (bebas antibiotik/obat) dan mampu
memproduksi udang/ikan dengan mutu prima
- Penerapan program monitoring internal selama masa produksi dan mncegah penggunaan antibiotik/obat- obatan,
dalam rangka mendukung sistem ketertelusuran
- Unit/industri pengolahan hasil perikanan harus berbagi tanggung jawab untuk menjamin bahwa bahan baku
ikan/udang mentah yang diperoleh dari petani/pengusaha tambak harus aman untuk konsumsi manusia dan mampu
ditelusuri (traceable). Sehingga harus dibentuk sistem pencatatan jaminan mutu industri-petambak (Factory-Supplier QA
records)
- Membuat ketentuan wajib bagi petani/pengusaha udang untuk memberi jaminan bahwa produk udang yang
dihasilkannya harus bebas dari antibiotik dan kontaminan lainnya
- CA dapat mendelegasikan pada Dinas Perikanan di daerah untuk melakukan verifikasi sistem pencatatan jaminan
mutu industri-petambak (Factory-Supplier QA records)4.Perbaikan sistem perijinan industri perikanan tujuan ekspor ke
UE
- Melakukan re-evaluasi kembali terhadap industri-industri pengolahan hasil perikanan pemegang approval number
tujuan ekspor ke UE
- Membentuk program inspeksi yang melibatkan tim inspektor yang kompeten dan kredibel untuk mencapai tindakan
inspeksi yang lebih obyektif dan terpercaya5.Sistem pengendalian oleh pemerintah (official control)
- Kelemahan di dalam sistem pengendalian oleh pemerintah, karena ketiadaan sistem formal dan baku untuk melakukan
:
- inspeksi terhadap aplikasi GMP dan HACCP
- Audit
- Verifikasi audit
- Pengujian laboratorium mutu, karena belum memadainya kapasitas dan kemampuan SDM serta fasilitas laborato rium
untuk melakukan pengujian logam berat dan residu antibiotik
- Menyusun petunjuk teknis/ pelaksanaan baru untuk kegiatan inspeksi, prosedur-prosedur baku analisis laboratorium,
dan sistem pencatatan
- Memperkuat koordinasi antara CA dan Dinas Perikanan di daerah-daerah
- CA harus memperbaiki kapasitas dan kemampuan laboratorium-laborato rium mutu di Indonesia (biaya sekitar
3,125,000 Euro) pada TA 2006. Diharapkan seluruh laboratorium mutu perikanan di Indonesia sudah mampu melakukan
analisis residu obat-obatan/antibiotik pada pertengah an tahun 2007
- Ketetapan baru dari CA yang dapat mengijinkan laboratorium-laboratorium mutu swasta yang sudah terakreditasi
untuk melakukan pengujian-pengujian residu obat-obatan/antibiotik6.Kelembagaan/Pelatihan
- Pemahaman yang masih lemah terhadap ketentuan-ketentuan UEUntuk mendukung implementasi dari peraturanperaturan
baru yang dibentuk, maka CA merencanakan untuk melaksanakan berbagai pelatihan yang meliputi:
- Diseminasi peraturan baru pada DinasPerikanan di daerah dan pemangku kepentingan (stakeholders) terkait
- Pendampingan berkelanjutan dalam kegiatan pelatihan inspektor di tingkat pusat dan daerah
- Pemerintah Belanda juga akan memberikan program pelatihan SDM laboratorium mutu untuk analisis mikrobiologi dan
aplikasi LC-MS/MS untuk pengujian antibiotik pada produk perikanan pada bulan Mei-Juni 2007. Program pelatihan
tersebut akan dilakukan di RIKILT Food Safety Institute (Wageningen, Belanda).
- CA melakukan sosialisasi sistem manajemen mutu internal yang baru untuk tercapainya implementasi dari peraturanperaturan
baru
- Penyusunan disain sistem manajemen informasi berbasis teknologi informasi untuk menyeragamkan pendataan yang
berasal dari hasil-hasil inspeksi, audit, dan pengujian yang dilakukan di tingkat pemerintah pusat dan daerah2. Tindakan
Jangka Panjang
Berdasarkan pada aturan-aturan GATT tentang adanya perlakuan khusus dalam beberapa sektor perdagangan
komoditas tertentu dan upaya-upaya untuk menghindari lingkaran kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja baru,
maka peran sektor perikanan budidaya sangat dibutuhkan untuk perbaikan ekonomi rakyat. Dengan alasan
pertimbangan ini, maka Indonesia berharap agar produk-produk perikanan hasil budidaya tetap akan dapat memasuki
pasar UE sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
TENTATIVE AGENDA KUNJUNGAN KERJA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN RI KE AMSTERDAM DAN
BRUSSEL
(24-26 April 2007)
NoWaktuProgramTempat1.24 April 2007Menteri KP RI tiba di AmsterdamSchiphol Airport2.

25 April 2007
- Menteri KP RI tiba di Brussel
- Pertemuan Menteri KP RI dengan UE Commissioner for Food Safety and Consumer Protection
- Pertemuan Menteri KP RI dengan Direktur Jenderal Health and Consumer Protection KBRI Brussels3.26 April
2007Menteri KP RI berangkat ke AmsterdamBrussels Airport
LAMPIRAN 1.
Notifikasi RASFF pada produk perikanan Indonesia tahun 2004-2006
Parameter TahunKomoditasSenyawa Spesifik200420052006Obat-obatan 1059 Udang Nitrofuran, Chlo-
Ramfenikol Ikan Lele/Patin
Malachite Green Ikan Bandeng Malachite Green Belut/Sidat Malachite Green + Crystal Violet Ikan Mas Malachite
Green Ikan Nila Malachite GreenHistamin 2135Ikan Tuna Logam Berat
204 17Ikan Marlin Cumi-cumi Lobster Ikan Hiu Ikan Setan (Butterfish) CO 421 3Ikan TunaMikrobiologi
66UdangTPC, Salmonella sp, V. parahae molyticus, V. cho lerae, Pseudomo nas sp., Shigella sp. Ikan TunaTPCOrgano
2 Lobster UdangTOTAL
613936LAMPIRAN 2.
Empat (4) Peraturan Menteri :
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI tentang Jaminan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan Selama
Proses Produksi, Pengolahan, dan Distribusi
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan
- Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI tentang Cara Berbudidaya yang Baik dan Benar
- Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI tentang Monitoring Residu Obat Ikan, Bahan Kimia, Bahan Biologi dan
Kontaminan pada Pembudidayaan Ikan Empat (4) Keputusan Dirjen :
- Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem
Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
- Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan tentang Program Pengendalian Hasil
Perikanan dan Kekerangan
- Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya tentang Checklist dan Pedoman Sertifikasi Cara Berbudidaya yang
Baik dan Sertifikasi Benih
- Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya tentang Monitoring Residu Obat Ikan dan Kontaminan di Lingkungan
Budidaya
http://www.dkp.go.id/content.php?c=3838

sumber : http://www.indonesia.go.id

PENANGANAN DAN PENGOLAHAN PRODUK PERIKANAN BUDIDAYA DALAM MENGHADAPI PASAR GLOBAL: PELUANG DAN TANTANGAN

Posted: 24 Feb 2010 05:33 AM PST



PENANGANAN DAN PENGOLAHAN PRODUK PERIKANAN BUDIDAYA DALAM

MENGHADAPI PASAR GLOBAL: PELUANG DAN TANTANGAN

Oleh:

Nazori Djazuli

C 561020084

E-mail : nazoryfish@hotmail.com

1. PENDAHULUAN

Sektor perikanan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional terutama dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan bagi nelayan/petani ikan, sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi, serta sumber devisa yang sangat potensial.

Dalam beberapa tahun terakhir ini ekspor komoditi perikanan Indonesia terus menunjukkan laju kenaikan. Berbeda dengan komoditi lain yang mengalami kemerosotan ekspor sebagai dampak krisis moneter, ekspor produk perikanan hampir tidak terpengaruh oleh resesi ekonomi bahkan nilainya cenderung meningkat. Dari data ekspor perikanan tahun 1994 – 1998 menunjukkan kenaikan 7,01 % pertahun (volume) dan 4,9 % pertahun (nilai) (Ditjen Perikanan, 2000). Kecenderungan ini nampaknya disebabkan karena kandungan lokal komoditi perikanan sangat tinggi sehingga daya saingnya di pasaran global lebih kuat. Selain itu pula kekurangan pasokan ikan di pasaran dunia ikut mempengaruhi kecenderungan tersebut, dimana menurut FAO diperkirakan kekurangan tersebut hingga tahun 2010 dapat mencapai 2 juta ton pertahun.

Pasar domestik cukup kuat, dari produksi perikanan 1998 tercatat 4,7 juta ton yang dipasarkan dalam negeri sebesar 4 juta ton dan ini masih belum cukup memenuhi kecukupan pangan penduduk akan ikan. Berdasarkan PROTEKAN 2003 tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia pada tahun 1998 baru mencapai 19,25 kg/kapita/tahun atau 72,5 % dari standar kecukupan pangan akan ikan (26,55 kg/kapita/tahun) (Kusumastanto, 2001). Dengan ditargetkan 22 kg/kapita saja, pasar domestik masih memerlukan tambahan pasok ikan lebih 0,5 juta ton/tahun (Suboko, 2001). Hal ini tidak mungkin dipenuhi oleh usaha penangkapan saja tetapi juga oleh hasil budidaya. Bila dilihat dari produksi perikanan 4,7 juta ton, lebih dari 75 % dari produksi tersebut berasal dari penangkapan. Disisi lain dari sumberdaya ikan lestari (MSY) sebesar 6,2 juta ton/tahun produksi penangkapan hampir mendekati titik jenuh. Sedangkan potensi untuk perikanan budidaya masih sangat besar, dimana 4,29 juta ha hutan bakau yang ada 830.000 ha (20 %) dapat dimanfaatkan untuk budidaya air payau, perairan umum seluas 14 juta ha, dimana 140.000 ha dapat dimanfaatkan untuk budidaya air tawar belum lagi luasnya daerah persawahan (1,7 juta ha) yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya (mina padi) serta perairan pantai seluas 80.925 ha, dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut (Ditjen Perikanan, 1995).

Dengan demikian peluang untuk mengembangkan perikanan budidaya masih sangat besar guna memenuhi kebutuhan pasar domestik dan dunia. Sedangkan tantangan yang akan terus dihadapi pada pasar dunia bagi komoditi ekspor perikanan budidaya adalah yang menyangkut mutu dan sanitasi (food safety) seperti masalah kandungan hormon dan antibiotik, bakteri patogen, racun hayati laut (biotoxyn), pestisida, dimana kandungan-kandungan ini berasal dari lingkungan budidaya serta masalah lain seperti gencarnya kampanye anti udang tambak oleh GAA (Global Aquaculture Alliance) dengan anggapan merusak hutan bakau dan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu perlu meningkatkan komoditi-komoditi yang dibutuhkan pasar dan bernilai tinggi serta menerapkan system jaminan mutu/food safety (HACCP) di unit-unit produksi yang diwajibkan oleh CAC/FAO/WHO (Codex Alimentarius Commission) dan negara-negara importir. Disamping itu setiap pembuat tambak udang selalu mengikuti kaidah-kaidah AMDAL dan kelestarian lingkungan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan masalah yang berkaitan dengan ekspor udang tambak.

Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek "food safety" maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat).

2. PELUANG EKSPOR KOMODITI PERIKANAN BUDIDAYA

2.1. Peluang Sumber daya perikanan budidaya

Kebutuhan ikan untuk pasar dunia sampai tahun 2010 diperkirakan oleh FAO, masih akan kekurangan pasok ikan sebesar 2 juta ton/tahun. Hal ini tidak mungkin dipenuhi oleh usaha penangkapan, namun harus dipasok oleh usaha budidaya.

Indonesia mempunyai peluang yang sangat baik untuk terus mengembangkan perikanan budidaya. Hal ini didukung dari data Ditjen Perikanan (1995), bahwa potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar khususnya untuk jenis-jenis ikan komersial seperti udang, kerapu, baronang, kakap putih, rumput laut, kerang-kerangan, paha kodok, bekicot dan lain-lainnya. Dengan areal hutan bakau seluas 830.000 ha dapat dimanfaatkan untuk pertambakan dengan potensi produksi 964.143 ton udang dan 308.275 ton ikan. Sedangkan dari perairan umum (waduk, danau, rawa, sungai, dan lainnya), 140.000 ha dapat dimanfaatkan untuk budidaya air tawar yang diperkirakan produksinya mencapai 800.000 – 900.000 ton pertahun, belum lagi daerah persawahan (1,7 juta ha) yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya mina padi. Sedangkan perairan pantai seluas 80.925 ha, dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut dengan potensi produksi 46,73 ton pertahun yang terdiri dari ikan 1,08 juta ton, kerang-kerangan 45,171 juta ton dan rumput laut 482 ribu ton.

Secara umum permintaan terhadap komoditi perikanan Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa jenis komoditas perikanan Indonesia yang diekspor adalah udang, tuna/cakalang, rumput laut, kepiting, kerang-kerangan dan lain sebagainya. Sementara itu, meningkatnya permintaan ikan di pasaran dunia dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan, bergesernya selera konsumen dari "red meat" ke "white meat" dan kebutuhan manusia akan makanan sehat (healthy food) serta rasa ketidak amanan manusia untuk mengkonsumsi daging ternak seperti adanya penyakit Mad cow disease, Dioxin dan penyakit mulut dan kuku yang melanda hewan ternak di Eropa dan Amerika memberikan dampak positip pada peningkatan konsumsi ikan.

2.2. Peluang ekspor perikanan budidaya

Dari data statistik ekspor perikanan menurut negara tujuan tahun 2000 ke 91 negara, dimana secara keseluruhan dari tahun 1998 sebesar 650.291 ton dengan nilai US$ 1.698.675 meningkat menjadi 703.155 ton dengan nilai US$ 1.739.312 pada tahun 2000. Jumlah ekspor terbesar ditujukan ke jepang (50 %), Amerika (17 %), UE (13 %), Asia (20%) dan ASEAN (10 %). Sedangkan keragaman ekspor komoditi perikanan sebagian masih dalam bentuk utuh beku dan segar dimana sebagian pasar utamanya adalah Jepang (Ditjen Perikanan, 2000). Sedangkan dari data sertifat ekspor 1999 – 2000 (BPPMHP, 2000), hasil perikanan budidaya seperti kerapu, nila, udang dan rumput terjadi peningkatan ekspor pada komoditas ikan nila dan kerapu. Untuk ekspor ikan nila dalam bentuk utuh maupun fillet ditujukan kenegara seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, Australia dan Singapura. Peningkatan ekspor pada ikan nila sangatlah meyakinkan di masa mendatang oleh karena daging nila umumnya berwarna putih dan dapat digunakan untuk pengganti produksi filet ikan kakap merah yang sebagai salah satu primadona perdagangan ikan internasional. Dengan demikian ikan nila telah menunjukkan kemantapan dengan perluasan pasar secara cepat di AS dan negara-negara Eropa. Sedangkan pada ikan kerapu ekspornya ditujukan kenegara Amerika, Australia, Hongkong, Taiwan, Inggris, Jepang dan Singapura.

Permintaan udang windu terus meningkat sedikitnya diatas harga US$ 15/ kg. Dilain pihak harga udang putih bergerak naik sekitar US$ 12/kg sedangkan harga udang Pandalus cenderung menurun mendekati US$ 6/kg (Seafood International, 2001). Sedangkan Jepang, Amerika dan Uni Eropa tetap merupakan negara pengimpor udang terbesar. Dilain pihak sumberdaya udang cenderung menurun dan hampir menunjukkan kepunahannya dialam/diperairan umum. Hal ini ditandai munculnya ukuran (size) pada udang-tangkap yang diekspor serta menurunnya jumlah tangkapan udang di laut.

Komoditas perikanan yang lain seperti rumput laut merupakan komoditi ekspor yang penting dari Indonesia, akan tetapi di ekspornya masih dalam bentuk bahan mentah yang kemudian di impor kembali dalam bentuk produk jadi. Eksplotasi rumput laut masih terbatas makro algae dimana alga dikonsumsi sebagai bahan makanan tambahan bukan sebagai bahan makanan utama. Konsumsi rumput laut per hari di Jepang adalah 10 gr orang/hari, sedangkan nilai komersial yang penting pada rumput laut adalah asam alginat dan turunannya focoidan dan laminaran untuk alga merah dan untuk alga coklat adalah agar dan carrageenan. Untuk kawasan ASEAN seperti Philipina, industri rumput laut berhasil memasukkan devisa sebesar US$ 670 juta per tahun yang bahan bakunya justru di Impor dari Indonesia. Dengan demikian peluang dan prospek pengembangan budidaya ikan nila, kerapu, udang dan rumput laut cukup besar pasarnya, namun kekewatiran masyarakat terhadap hasil perikanan budidaya juga semakin meningkat.

3. TANTANGAN EKSPOR KOMODITI PERIKANAN BUDIDAYA

Dengan adanya era globalisasi maka system perdagangan komoditi perikanan tidak hanya ditentukan oleh faktor "supply and demand" semata-mata, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai konvensi dan perjanjian internasional yang cenderung mengatur mekanisme perdagangan internasional komoditi perikanan.

Secara umum, masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan ekspor komoditi perikanan adalah tarif bea masuk yang dikenakan oleh negara pengimpor sangat bervariasi dari negara dan dari jenis ke jenis. Selain itu issu global seperti issu lingkungan, jaminan keamanan pangan (food safety) dan sebagainya, serta dimasukkannya perjanjian SPS (sanitary and phytosanitary) sebagai salah kesepakatan GATT putaran Uruguay, mempunyai tujuan memperlancar perdagangan hasil pertanian. Akan tetapi pada kenyataannya, dimanfaatkan oleh beberapa negara industri sebagai hambatan teknis (techincal barrier) dalam perdagangan, dengan tujuan untuk menyaring masuknya keomoditas pertanian dari luar.

Masalah lain sebagai tantangan ekspor komoditi perikanan Indonesia adalah adanya sinyalemen tentang kontaminasi ikan salmon oleh senyawa PCB (Polychlorinated biphenyl) dan dioxin yang sangat berbahaya sehingga menimbulkan animo masyarakat terhadap ikan salmon cenderung menurun. Hal ini tentu dapat saja terjadi bagi komdoditi perikanan Indonesia, dimana pencemaran dioksin (racun hayati laut) dari PSP (Paralytic Shellfish Poisoning) juga melanda beberapa perairan Indonesia. Sedangkan masalah GMOs (Genetically Modified Organisms) dan LMOs (Living Modified Organisms) perlu dipertimbangkan, oleh karena berkembangnya rekayasa genetika. Masalah ini sering menjadi batasan import bagi Jepang dan UE. Sebagai contoh sering terjadi pada tuna kaleng yang menggunakan media minyak (kedele) yang berasal dari GMOs banyak yang ditolak oleh 2 negara tersebut.

Beberapa masalah utama yang dihadapi oleh komoditi perikanan budidaya adalah adanya :

1. Bakteri patogen : Salah satu persyaratan yang ditetapkan oleh negara pengimpor maju pada komoditas perikanan adalah bebas dari bakteri patogen. Eropa mempersyaratkan udang beku (kecuali udang rebus beku) harus bebas dari bakteri Salmonella dan beberapa negara lain mempersyaratkan E. coli dan bakteri patogen. Penyebab masuknya bakteri tersebut adalah kurangnya sanitasi dan higiene dalam budidaya, sebagai contoh hasil pengujian BPPMHP (1997) menyebutkan dari kombinasi ikan nila dan ternak ayam (Longyam), positip mengandung Salmonella.

Selain itu, pada komoditi kekerangan, beberapa negara maju memberlakukan syarat yang lebih ketat terhadap masuknya impor kekerangan. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah adanya standar sanitasi terhadap perairan untuk budidaya dan pengumpul. Dari hasil monitoring perairan untuk budidaya kerang yang dilakukan BPPMHP (1999), terjadi pencemaran bakteri V. parahaemolyticus diperairan Riau, Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan kandungan bakteri bervariasi 23 - <>Anadara dan Crassostrea yang ditangkap di teluk Jakarta, dimana kerang Anadara ditemukan Salmonella 52,3 %, Shigella 6,3 %, E. coli 8,3 %, Staphilococus 1 % dan V. parahaemolyticus 3 %. Sedangkan Crassostrea mengandung Salmonella 46 %, E. coli 16 %, Staphilococus 37,1 % dan V. parahaemolyticus 5,5 %.

Syarat lain adalah untuk kekerangan yang akan dipasarkan diharuskan melakukan purifikasi (pembersihan). Salah satu metode purifikasi (pembersihan) adalah depurasi, dari hasil uji coba depurasi dengan sinar U.V , selama 48 jam dapat menurunkan ALT dari 106 menjadi 103 serta E. coli <>

2. Marine biotoxin (racun hayati laut) : Selain mengandung bakteri patogen, beberapa komoditi perikanan dapat tercemar oleh adanya biotoxin. Hal ini disebabkan adanya alga yang mengandung racun PSP (Paralytic Shellfish Poisoning), NSP (Neurotoxic Shellfish Poisoning), DSP (Diarrhetic Shellfish Poisoning), ASP (Amnesic Shellfish Poisoning) dan CFP (Ciguatera Fish Poisoning). Dari hasil monitoring BPPMHP (1999) perairan yang mengandung PSP > 80 Ug/100 gr adalah perairan Lampung dan Ambon. Oleh karena itu perairan tersebut tertutup untuk budidaya dan penangkapan. Sedangkan komoditasnya tidak boleh dijual atau diekspor. Biotoxin PSP, NSP, DSP, ASP umumnya terdapat pada kekerangan. Sedangkan CFP sering terdapat pada ikan-ikan karang seperti kakap, kerapu dsb. Oleh karena itu pada ikan karang dan kekerangan yang akan diekspor, beberapa negara mempersyaratkan komoditas bebas dari dioksin.

3. Hormon, antibiotik, pestisida dan logam berat : Dengan dalih untuk meningkatkan keamanan pangan (food safety) pada produk perikanan yang beredar di pasaran, Eropa telah mengeluarkan peraturan kepada semua negara pengekspor ikan budidaya untuk menyampaikan program pengendalian dan monitoring residu hormon dan antibiotik. Bagi negara yang tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka izin ekspor ke UE akan dicabut. Dari hasil monitoring antibiotik yang dilakukan BPPMHP (2000) pada beberapa udang di tambak Jawa dan Lampung, dihasilkan udang positip mengandung antibitoik. Untuk itu perlu upaya pengendalian pengunaan antibiotik adalah dengan memberikan antibiotik (jika diperlukan) pada ikan/udang yang dibudidayakan. Sedangkan penen dapat dilakukan minimal 1 bulan setelah pemberian antibiotik untuk menghindari adanya residu. Untuk residu hormon dan pestisida sampai saat ini belum dilakukan pengujian. Sedangkan untuk logam berat BPPMHP (1999) telah melakukan monitoring dengan hasil logam berat (merquri) pada komoditas perikanan masih dibawah ambang batas (<>

4. Kampanye anti udang tambak : Dengan semakin meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan, beberapa negara maju dan kelompok LSM yang tergabung dalam Global Aquaculture Alliance (GAA) telah mulai mengadakan kampanye anti udang tambak. Hal ini disebabkan karena pembuatan tambak udang dianggap merusak hutan bakau dan menggamggu kelestarian lingkungan. Untuk itu dalam upaya menangkal kampanye anti udang tambak, setiap pengembangan tambak selalu memperhatikan aspek kelestarian lingkungan atau AMDAL

Untuk menghadapi tantangan tersebut, kiat yang harus ditempuh oleh dalam menghadapi pasar global adalah dengan meningkatkan efisiensi mulai dari saat budidaya sampai pemasaran agar harga di pasar lebih kompetitif serta meningkatkan sistem pembinaan mutu (PMMT) yang mengacu pola HACCP yang secara resmi diakui oleh CAC/FAO/WHO.

4. PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN HACCP DI BUDIDAYA

Potensi bahaya (Hazard) dalam budidaya ikan/udang adalah berupa bahaya biologi, kimia dan fisik. Bahaya ini dapat setiap waktu masuk pada ikan/udang yang dibudidayakan dan pada pengolahan, seperti tercemarnya pakan oleh pestisida, tidak tepatnya penggunaan bahan kimia/obat-obatan,tercemarnya lingkungan budidaya oleh bakteri/virus, terjadinya kontaminasi selama pengolahan produk dan lain sebagainya. Hazard yang spesifik pada budidaya udang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Contoh-contoh hazard pada produk budidaya

Kelompok Hazard

Contoh hazard

Biologi

Bakteri patogen

Salmonella, Shigella, E. coli, Vibrio



Cholerae, Vibrio parahaemolyticus,



Aeromonas hydrophilla, Listeria mono



cytogenes dan lain-lain


Parasit/protozoa

Parasit padaTrematoda,Cestoda/



Nematoda ( Clonorchis sinensis,



Anisakis dan lain-lain


Virus

Hepatitis A, Norwalk virus dll


Mycotoxin

Aflatoxin

Kimia

Residu obat

Hormon, antibiotik, pengatur tumbuh


Residu Pestisida

Herbisida, Fungisida, insektisida


Logam berat

Merkuri, cadmium, copper dll

Fisika


Kaca, kayu, rambut dll.

Sumber : FDA, 1998

Tabel 2. Potensi hazard pada beberapa ikan budidaya.

Komoditas

Potensi hazard

Udang tambak

Kimia

Aldrin/dieldrin, benzen hexachlorida, DDT, TDE, DDE, Fluridone, Nikel, Arsen, Cadmium


Obat-obatan

Oxitetracyclin,Tricaine, larutan.forma-lin,sulfamerzin,Sulfadimethoxin

Tilapia/nila

Kimia

Aldrin/dieldrin, benzen hexachlorida, DDT, TDE, DDE, Fluridone, Nikel, Arsen, Cadmium


Obat-obatan

Oxitetracyclin,Tricaine, larutan.forma-lin,sulfamerzin,Sulfadimethoxin

Kakap

Biologi

parasit anisakis, pseudoterranova, eustrongylides


Dioksin

PSP, DSP, NSP, ASP, CFP

Kerapu

Biologi

anisakis, pseudoterranova, eustrong-ylides


Dioksin

PSP, DSP, NSP, ASP, CFP

Sumber : SEAFDEC, 1997

Dari beberapa literatur potensi hazard dari Salmonella dan Vibrio dalam budidaya udang sering terjadi pertentangan. Dimana menurut Reilly and Twiddy (1992) dalam Mahony (1995), Salmonella dan Vibrio hidup pada bagian tumbuhan alam (plangton) di tambak udang. Namun dari penelitian Dalsgaard et al (1995) dalam Mahony (1995) tidak ditemukan secara nyata Salmonella pada udang maupun tambak udang. Sedangkan dari pengujian BPPMHP (1996) Salmonella positip ditemukan pada pakan ayam, kotoran ayam dan ikan yang memakan kotoran ayam. Dengan demikian Salmonella dapat masuk ke dalam udang/ikan yang dibudayakan, disebabkan dari suplai air dan pakan yang terkontaminasi. Beberapa contoh potensi hazard pada ikan/udang budidaya dapat dililhat pada Tabel 2.

Pemilihan lokasi/tempat

¯

suplai air

¯

http://rudyct.com/PPS702-ipb/05123/nazori_djazuli_files/image001.gif Air ¾¾¾¾¾¾¾¾¾ Lingkungan pemeliharaan

Pengeloaan ikan/udang ï¾¾® ¯

Kondisi kolam Produksi * *Persoalan penting di produksi :

http://rudyct.com/PPS702-ipb/05123/nazori_djazuli_files/image002.gif Obat/bahan kimia ¯ Pengeloaan kolam, pemberian

Panen pakan dan kesehatan udang

¯

Penerimaan

¯

Pengolahan

¯

Penyimpanan

­ ¯

CCP Pengiriman

Gambar 1. Tahapan budidaya secara umum

Langkah-langkah penerapan HACCP di budidaya yaitu didahului dengan memenuhi kelayakan dasar (pre-requisite) budidaya. Kelayakan dasar ini berisi GCP (Good Culture Practices) yang mengatur kebersihan umum, pembesaran dan penanganan. Kebersihan umum meliputi kebersihan area, pembersihan peralatan sebelum dan sesudah digunakan dan kebersihan gudang penyimpanan. Sedangkan pembesaran dan penanganan meliputi catatat dalam menjaga dan menyediakan : air dan penggunaan air, pakan dan pemberian pakan, penyakit dan pengontrolan penyakit, obat-obatan dan bahan kimia dengan petunjuk penggunaan, waktu dan periode pemberian; teknik pasca panen, pembersihan produk dengan air bersih, temperatur produk, pencegahan kontaminasi selama panen, sortasi, transpotasi serta kelambatan penanganan seminim mungkin. Secara garis besarnya, alur proses budidaya terdiri dari pemilihan lokasi/tempat budidaya, suplai air, pengelolaan lingkungan ikan/udang yang dipelihara, produksi dan panen (Gambar 1).

Pada periode pemeliharaan udang, waktu pemeliharaan selama 3 – 4 bulan. Sedangkan tahapan yang dilakukan meliputi persiapan kolam (pengeringan, pengapuran, pembrantasan predator dan lain-lainnya), pemasukan air, penyediaan benih/benur, pemberian pakan, perawatan udang (antibiotik, bahan kimia dsb), penggantian air secara berkala, panen, sortasi, pengepakan dan transpotasi ke unit pengolahan. Titik-titik kritis (CCP) yang ada pada alur proses terjadi pada waktu pemeliharaan/pembesaran (growing), dimana pekerjaan yang terdapat pada tahap pemeliharaan adalah pengantian air, pengeloaan udang, kondisi kolam dan penggunaan obat/bahan kimia. Hazard yang potensial adalah Salmonella yang disebabkan oleh suplai air, pakan dan pupuk. Untuk itu perlu menguji penyebab hazard tersebut secara berkala, sedangkan tindakan koreksinya adalah dengan mentreatment atau mencegah hazard tersebut masuk kedalam tempat pemeliharaan. Hazard lain selama pembesaran adalah adanya residu antibiotik atau bahan kimia. Untuk itu perlu dilakukan pencegahannya dengan mengisolasi ikan yang tercemar sampai residu tersebut hilang. Sedangkan pada panen dilakukan secara manual dengan memberikan es pada udang-udang yang ditangkap,disortasi dan dipak dalam es, kemudian dikirim ke industri pengolahan. Hazard yang potensial adalah kontaminasi Salmonella dan adanya benda asing (kaca, rambut, kayu dsb). Generic hazard pada budidaya dapat dilihat Tabel 3.

Tabel 3. Generic HACCP untuk produksi udang budidaya

Tahapan produksi

Hazard

Di pantau oleh

Pemilihan lokasi

Kontaminasi kimia

Kelayakan dasar


Kontaminasi biologi


Pembesaran



- Kondisi kolam

Kontaminasi kimia

GMP

- Suplai air

Salmonella

CCP

- Pakan/pupuk

Salmonella

CCP

- Penggunaan bahan


CCP

Kimia/obat-obatan



Panen

Kontaminasi Salmonella

CCP


Kaca, kayu dll

CCP

Sumber : SEAFDEC, 1997

Dengan adanya HACCP pada unit budidaya yang dilaksanakan dengan konsisten, maka bahan baku yang diterima di unit pengolahan, sudah terjamin mutu dan keamanan. Dengan demikian segala tantangan yang menyangkut issu pada pasar internasional dapat diatasi.

IV. PENANGANAN DAN PENGOLAHAN

Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek "food safety" maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat).

Dalam PROTEKAN 2004, komoditi unggulan untuk budidaya kedepan adalah kerapu, udang windu, nila dan rumput laut. Komdoditi tersebut merupakan komdoditi yang banyak diminati oleh negara importir. Berdasarkan data yang dihimpun dari sertifikat ekspor komoditi tersebut diolah dalam bentuk utuh segar/beku, fllet beku, ikan hidup dan rumput laut kering (Tabel 4).

Tabel 4. Jenis olahan dan negara importir komoditi kerapu, nila, udang dan rumput laut.

Jenis olahan

Negara tujuan

Volume (ton) tahun 2000

Kerapu hidup

Hongkong, Singapura, Jepang

454,66

Kerapu segar

Taiwan, RRC, Jepang, Singapura, Hongkong, Malaysia

4.374,54

Kerapu beku

USA, Hongkong, Australia, Inggris, Taiwan, Sinagpura

930,65

Fillet kerapu

Taiwan, Jepang, Singapura, Hongkong

165,01

Fillet nila

USA, Inggris, Singapura

70,69

Nila beku

USA, Kanada, Inggris, Bahrain, Jerman, Perancis

484,43

Udang

Eropa, USA, Jepang, Hongkong, Korea, Thailand, Malaysia, Singapura, Belgia, kanada dsb

91.157,59

Rumput laut

Philipina, Jepang, USA Singapura, Hongkong

2.648,71

Sumber : Sertifat ekspor yang diterima BPPMHP.

Sampai saat ini, ekspor komoditi perikanan Indonesia, sebagian besar masih dalam bentuk utuh (bentuk primer) baik keadaan beku, segar atau hidup. Sedangkan disisi lain, permintaan komoditi perikanan yang mempunyai nilai tambah sangat besar terutama kepasaran Jepang, Amerika, Eropa dan China. Produk-produk budidaya yang banyak dikembangkan menjadi produk bernilai tambah masih didominasi oleh komoditas udang seperti bentuk peel devine boiled shrimp, breaded shrimp yang saat ini permintaannya semakin meningkat dari beberapa negara pengimpor seperti USA, Eropa dan Kanada.

Dari ekspor ikan budidaya seperti ikan nila, sampai saat ini baru dikembangkan dalam bentuk fillet dengan syarat bahan baku yang harus dipenuhi maksimal berukuran 600 gr up dalam keadaan hidup. Sedangkan pada pemasaran dalam negeri ikan nila (<>

Pengembangan rumput laut, sampai saat ini ekspornya masih dalam bentuk kering utuh, baik untuk rumput laut penghasil caragenan, agar maupun alginat. Hal ini dikarenakan permintaan pasar, sedangkan nilai tambah yang mungkin diperoleh dari rumput laut Euchema adalah dengan memproses menjadi ATC (Alkali Treat Cottonii). Hal ini adanya kecenderungan importir lebih menyukai rumput laut kering (tanpa perlakuan alkali). Sedangkan didalam negeri, Euchema banyak dijual dalam bentuk makanan seperti manisan, cendol, sirup dan lain, namun pemasarannya masih terbatas. Untuk rumput laut penghasil agar seperti Gracilaria dan Gilidium banyak dibutuhkan untuk memenuhi industri agar-agar dalam negeri baik untuk bentuk tepung, batang maupun kertas. Sedangkan untuk agar-agar penghasil alginat (Turbinaria, Sargasum dll) pemasarannya masih terbatas pada bentuk bahan beku kering.

V. KESIMPULAN

1. Peluang pengembangan bisnis perikanan diperkirakan akan terus membaik seiring dengan meningkatnya permintaan ikan dipasaran internasional, baik disebabkan karena laju pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan maupun pergeseran pola konsumsi,kebutuhan manusia akan makanan sehat (healthy food) serta rasa ketidak amanan manusia untuk mengkonsumsi daging ternak

2. Pasar domestik cukup kuat, tercatat dari produksi 4,7 juta ton yang dipasarkan dalam negeri sebesar 4 juta ton dan ini masih belum cukup memenuhi kecukupan pangan penduduk akan ikan. Sedangkan dari penangkapan ikan hampir mendakati titik jenuh. Dengan demikian peluang untuk mengembangkan perikanan budidaya masih sangat besar guna memenuhi kebutuhan pasar domestik dan dunia.

3. Perdagangan ekspor komoditi perikanan cenderung semakin kompetitif. Disamping itu, ekspor komoditi perikanan juga dihadapkan pada berbagai hambatan tarif, food safety, issu lingkungan dan lain-lain. Sedangkan hambatan lainnya berkaitan dengan persyaratan mutu dan sanitasi dan gencarnya kampanye anti udang tambak oleh GAA (Global Aquaculture Alliance) dengan anggapan merusak hutan bakau dan kelestarian lingkungan. Untuk itu produksi perikanan budidaya perlu menerapkan system jaminan mutu/food safety (HACCP) yang diwajibkan oleh CAC/FAO/WHO (Codex Alimentarius Commission) dan negara-negara importir. Disamping itu setiap pembuat tambak udang selalu mengikuti kaidah-kaidah AMDAL.

4. Potensi hazard pada budidaya ikan/udang adalah pada tahap pembesaran (growing) seperti adanya Salmonella yang disebabkan oleh suplai air, pakan dan pupuk. Hazard lain adalah adanya residu antibiotik atau bahan kimia. Untuk itu perlu dilakukan pencegahannya dengan mengisolasi ikan yang tercemar sampai residu tersebut hilang. Sedangkan saat panen hazard yang potensial adalah Salmonella dan adanya benda asing (kaca, kayu dsb).

5. Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek "food safety" maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat) Sedangkan untuk rumput laut, dengan mempertimbangkan kebutuhan industri dalam negeri terhadap produk akhir rumput laut yang di import, maka perlu dikembangkan industri pengolahan rumput laut (caragenan, agar, alginat dll)

DAFTAR PUSTAKA

Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1994. Uji coba Depurasi, BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.

Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1997. Monitoring Salmonella pada ikan-ikan budidaya. BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.

Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1999. Monitoring Sanitasi Kekerangan. BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan, 1995. Promosi Peluang Usaha Di Bidang Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan, 2000. Statistik Produksi Perikanan Indonesia tahun 1998. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan, 2000. Statistik Ekspor Perikanan Indonesia tahun 1998. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.

Food and Drug Administration, 1998. Fish and Fisheries Products Hazards and Controls guide. Second edition. US-FDA. Rockville.

Kusumastanto, T., 2001. Potensi dan Peluang Industri Kelautan Indonesia. Makalah Seminar Peluang Usaha dan Teknologi Pendukung pada Sektor Kelautan Indonesia 11 Juli 2001. Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia. Jakarta.

Mahony, 1995. HACCP in Aquaculture: Papers Prepared for PAEC/DOF. Seminar on Quality Assurance for Aquaculture Products. Queen Sirikit National Convention Centre, Bangkok.

Southeast Asian Fisheries Development Centre, 1997. Quality Management for Aquacultured Shrimp. SEAFDEC, Changi, Singapore.

Suboko, B., 2001. Kebutuhan Teknologi Pengolahan dan Delivery Bagi Pelaku Usaha Industri Perikanan Di Indonesia. Makalah Seminar Peluang Usaha dan Teknologi Pendukung pada Sektor Kelautan Indonesia 11 Juli 2001. Departemen Kelautan dan Perikanan , Jakarta

Toyib, S., W. Martoyudo dan F. Suhadi., 1977. Beberapa Macam Bakteri Penyebab Penyakit Perut Manusia pada Kerang dalam Oceonologi di Indonesia No 7 Tahun 1977. LON-LIPI. Jakarta.

PENERAPAN FOOD SAFETY PRODUK PERIKANAN

Posted: 23 Feb 2010 11:11 PM PST


PENERAPAN FOOD SAFETY PRODUK PERIKANAN

Produk perikanan merupakan salah satu andalan Indonesia dalam perolehan devisa negara. Posisi nilai ekspor produk perikanan Indonesia di pasar dunia pada tahun 2006 menduduki peringkat 10 dengan pasar ekspor utama Indonesia adalah Amerika, Uni Eropa dan Jepang. Pertumbuhan ekspor produk perikanan Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir (2003 – 2007) menunjukkan tren naik, yaitu mencapai rata-rata sebesar 8,28 %. Sebagai contoh: Nilai ekspor perikanan Indonesia tahun 2006 sebesar USD 2,1 Miliar atau meningkat 9 % dibandingkan nilai ekspor tahun 2005 sebesar USD 1,9 Miliar. Tahun 2007 nilai ekspor produk perikanan Indonesia sebesar USD 2,3 Miliar atau meningkat sebesar 9,5 % dibandingkan tahun 2006.
Meskipun terdapat kecenderungan terjadi penurunan nilai dan volume ekspor produk perikanan Indonesia di pasar Jepang sebesar 7,3 %, tetapi pasar Uni Eropa mengalami peningkatan sebesar 2,13 % dan di pasar Amerika Serikat meningkat sebesar 12,7 %. Penurunan serupa juga terjadi pada pasar prospektif seperti Singapura dan Republik Rakyat China, namun peningkatan nilai dan volume ekspor perikanan Indonesia terjadi pada pasar prospektif Timur Tengah dan Eropa Timur. Tahun 2005 nilai ekspor produk perikanan sebesar USD 23,24 juta dan meningkat tahun 2006 menjadi USD 31,889 juta. Tahun 2007 nilai ekspor perikanan Indonesia ke Timur Tengah meningkat menjadi USD 68,656 juta. Meskipun masih relatif tetapi setiap tahunnya mengalami peningkatan signifikan, yakni sejak tahun 2005-2007 telah mencapai hampir 200 %.
Beberapa isu pemasaran produk perikanan di beberapa negara cenderung berbeda, seperti: (1) di Amerika Serikat, isu yang cenderung diangkat terhadap produk perikanan adalah CSI (Container Security Initiative), FAST (Free and Secure Trade), HACCP, COOL (Country Of Origin Labeling), dan Nutriton Labeling; (2) Uni Eropa lebih cenderung mengangkat isu SPS yang makin ketat (White Paper on Food Safety), Zero Tolerance Residu antibiotik, Tracebility and System Border Control (CD2006/236/EC, 21 Maret 2006), Isu Animal Welfare, dan Isu Lingkungan/ecolabeling, dan (3) Jepang lebih cenderung mengangkat isu COOL, Traceability untuk tuna, SPS yang ketat, Antibiotika (Vietnam 100% uji).
Permasalahan penanganan Food Safety perikanan di Indonesia lebih banyak terkait dengan masalah kualitas dan keamanan pangan. Permasalahan tersebut karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal dimaksud meliputi: jaminan mutu dan kemanan hasil perikanan kita masih lemah; susut hasil produk perikanan masih tinggi (27,8%); utilitas industri masih rendah (<50%);>
Terkait dengan permasalahan tersebut, Departemen Kelautan dan Perikanan telah dan terus melakukan beberapa upaya untuk penanganan Food Safety produk perikanan, antara lain: (1) pengembangan sistem rantai dingin (cold chain system) di 5 lokasi sentra pengolahan, 6 lokasi sentra produksi dan 3 lokasi Pasar Ikan Higienis; (2) sosialisasi larangan penggunaan bahan kimia berbahaya, (3) penambahan dan penyempurnaan jabatan fungsional pengawas mutu hasil perikanan, (4) sosialisasi ketentuan internasional standar produk dan sistem jaminan mutu serta keamanan hasil perikanan, (5) penguatan kompentensi laboratorium penguji, dan (6) pelatihan program manajemen mutu terpadu/HACCP.
Sebagai ilustrasi, saat ini jumlah UPI (unit Pengolahan Ikan) yang melakukan ekspor perikanan adalah sebanyak 407 unit dengan status UPI grade A berjumlah 136 unit, UPI dengan grade B berjumlah 182 unit, dan UPI dengan grade C berjumlah 89 unit. Selain itu jumlah tenaga kerja yang bisa diserap pada tahun 2005 sebesar 152.596 orang pada bidang pengolahan ikan UPI skala besar. Sedangkan untuk melaksanakan pengujian terhadap produk-produk yang akan diekspor, saat ini Indonesia memiliki 1 BBP2HP sebagai laboratorium acuan dan 39 Laboratorium Pengendalian dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) diseluruh Indonesia dengan status sudah terakreditasi24 LPPMHP dan belum terakreditasi sebanyak 15 LPPMHP.
Jakarta, Juli 2008
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi
Dr. Soen'an H. Poernomo, M.Ed.
Narasumber:
Ir. Saut P. Hutagalung MSc (Direktur Pemasaran Luar Negeri, Ditjen P2HP DKP) HP.0811840360

sumber : http://mukhtar-api.blogspot.com

pemberian pakan ikan mas

Posted: 23 Feb 2010 07:37 AM PST


pemberian pakan ikan mas

pakan yang diberikan pada ikan mas adalah berupa pakan pellet. pellet diberikan sebanyak 3 kali sehari. ikan yang dipelihara ini berumur 1,5 bulan dari hasil pemijahan induk betina yang berbobot 5 kg.

ikan mas ini dipelihara pada kolam dengan konstruksi tembok tapi dasar kolamnya berupa tanah. Pemeliharaan ikan mas dikolam akan lebih cepat pertumbuhannya bila diberi pakan yang berkualitas, mengandung 3 unsur pakan yang cukup yaitu protein, lemak dan karbrohidrat.

pakan alami juga perlu diberikan pada ikan. pakan alami biasanya diberikan pada ikan yang masih berukuran benih. jenis pakan alami yaitu berupa plankton (fithoplankton dan zooplankton)

What You Should Know Before You Buy A Glass Aquarium

Posted: 23 Feb 2010 03:09 AM PST


What You Should Know Before You Buy A Glass Aquarium
by: Jim F. Johnson



Buying your first aquarium is an exciting adventure. But should you select a glass aquarium or an acrylic one? Here are some tips on glass aquariums that may help you to make up your mind.

There are two main features that determine the quality of a glass fish tank - the kind of sealant that was used and the type and thickness of the glass. But, in addition, there are two kinds of glass aquariums. Some tanks are built to house water based creatures such as fish. And those that are meant to hold non-water based entities such as plants, turtles, lizards, and so on. If your intent is to house fish in your aquarium, you need to be sure that your aquarium of interest had it's sides bonded with sealant especially meant to hold water. If not, you could find that your fish tank is subject to leaks.

The typical glass aquarium is made of one of two types of glass - plate glass or tempered glass. Plate glass is a very heavy glass, it's over two times the weight of plexiglass (or acrylic) which is used in many fish tanks. Contrary to plexiglass, however, plate glass is extremely scratch resistant. It's also resistant to stains. Tempered glass is a bit less smooth than plate glass. Each type of glass breaks different also. When plate glass breaks, it tends to break into large pieces. When tempered glass breaks, however, it shatters into a lot of pieces. Practically, what this means is that if your plate glass aquarium breaks, you'll only have a crack or hole at the point of the break, and your fish will probably still be safe. Conversely, if your tempered glass aquarium breaks, it is likely that the entire aquarium side will be shattered and you'll lose all your fish.

Glass aquariums are not as good at retaining heat as acrylic tanks. So, dependent on the weather conditions where you live, you will probably be more reliant on your tank thermostat and heater to keep the water in the aquarium at the appropriate temperatures. If you live in a warm weather climate such as Florida or Nevada, heat loss will most likely not be an issue.

Since glass tanks are heavier than acrylic tanks, you'll want to be extra careful when choosing an appropriate aquarium stand. It's true that most of the aquarium weight will come from the water itself. But, when determining if the flooring supports are strong enough to safely hold your fish tank, you have to include all weight variables - the weight of the tank, the water, and the stand.

In years past it was hard to get custom shaped glass aquariums. If you wanted a unique shape, you were pretty much forced to purchase an acrylic aquarium. The reason for this is that glass tanks were made from planes of glass, which limited them to rectangular shapes. Acrylic tanks, on the other hand, were molded, letting them take the shape of the mold, however irregular it might be. Recently, however, new technologies have been introduced that lets companies produce glass aquariums with curvy and other unique shapes, rounded corners, and seamless edges. Acrylic tanks still hold the edge in the number of unique shapes that can be created but aquarium glass technology is light years away from where it was just a few years ago.


About The Author
Jim F. Johnson is webmaster and owner of http://www.aquariumtropicalfishsite.com. find more information on all glass aquariums / fish tanks at his web site.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.